Tokoh Fenomenal "Buya Hamka"
Prof. DR. H. Abdul
Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena Hamka (lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama dan
sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya sebagai wartawan, penulis, dan
pengajar. Ia terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor
kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru
besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia
meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam
usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke
Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di
sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas
kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang
dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier
sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama sementara waktu di Medan.
Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk
meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali
ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman
Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai
sastrawan.
Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK)
menyusuri hutan pengunungan di Sumatera Barat untuk menggalang persatuan
menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke
Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena
terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah
dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan
kembali dasar negara. Sikap politik Maysumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan malalah Panji Masyarakat
tetapi berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri
sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya
pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan
melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi
pada 1964. Ia merampungkan Tafsir Al-Azhar dalam keadaan sakit sebagai
tahanan.
Seiring peralihan kekuasaan ke Suharto, Hamka dibebaskan pada Januari
1966. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di RRI dan TVRI. Ia
mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar. Ketika pemerintah menjajaki
pembentukan MUI pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi
sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981,
menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli
1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
Abdul
Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender
Hijriyah: 13 Muharram 1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat. Ia adalah anak pertama, dengan tiga
orang adik, dari pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul"
dan Safiyah. Haji Rasul sebelumnya telah menikah dengan Raihana dan memberi
Malik seorang kakak, Fatimah yang kelak menikah dengan Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Setelah
belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di
Mekkah, Haji Rasul kembali ke Minangkabau dan memimpin gelombang pembaruan
Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, Muhammad
Amrullah adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah,
anduang bagi Malik, bernama Gelanggang adalah seorang yang mengajarkan tari,
nyanyian, dan pencak silat.
Di
Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun
yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk
kegiatan dakwah. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan
orangtuanya ke Padangpanjang, belajar membaca al-Quran dan
bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakaknya. Memasuki umur tujuh tahun,
Malik masuk ke Sekolah Desa.[a]
Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah
agama Diniyah School,
menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil
mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di
Diniyah School. Kesukaanya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai
bahasa Arab.
Pada
1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar.
Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib.
Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah
mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di Diniyah School
setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya
kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan
hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih
tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang
diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas
tentang syair
dalam bahasa Arab.[1]
Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka
kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya
tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya,
diam-diam tidak datang ke surau untuk mengintip film bisu
yang sedang diputar di bioskop.[2]
Perceraian orangtua
Saat
berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orangtuanya. Walaupun ayahnya
adalah penganut agama yang taat, kerabat dari pihak ibunya masih menjalankan
praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hari-hari pertama setelah
orangtuanya bercerai, Malik tak masuk sekolah. Ia menghabiskan waktu berpergian
mengelilingi kampung yang ada di Padangpanjang. Ketika berjalan di pasar, ia
menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun
dan membimbing peminta itu, berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan
sedekah, hingga mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya marah saat mendapati
Malik di pasar pada hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan
ayahmu." Ia membolos selama lima belas hari berturut-turut sampai seorang
gurunya di Thawalib datang ke rumah untuk mengetahui keadaan Malik. Mengetahui
Malik membolos, ayahnya marah dan menamparnya.
Dibayang-bayangi
ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali memasuki kelas belajar seperti biasa.
Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, berangkat ke Thawalib dan
kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap pergi mengaji. Sejak ia
menemukan bahwa gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy membuka
bibilotek, tempat penyewaan buku, Malik sering menghabiskan waktunya membaca.
Melalui buku-buku pinjaman, ia membaca karya sastra terbitan Balai
Pustaka, cerita China, dan karya terjemahan Arab. Setelah rampung membaca,
Malik menyalin versinya sendiri. Ia pernah mengirim surat cinta yang disadurnya
dari buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena kehabisan uang untuk
menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro, tempat
koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung, untuk mempekerjakannya.
Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perakat buku, sampai
membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca
koleksi buku yang akan disewakan. Dalam waktu tiga jam sepulang dari Diniyah
sebelum berangkat ke Thawalib, Malik mengatur waktunya agar punya waktu
membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru
yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. Ayahnya sering mendapati
Malik banyak membaca buku cerita dan pernah mengeluarkan pertanyaan,
"Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang
cerita?" Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik meletakkan buku
cerita yang dibacanya, mengambil buku agama sambil berupra-pura membaca.
Masjid Jamik Parabek
Permasalahan
keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri. Ia meninggalkan
kelasnya di Diniyah dan Thawalib, melakukan perjalanan ke Maninjau untuk
mengunjungi ibunya. Namun, ia merasa tidak diperhatikan sejak ibunya menikah
lagi. Malik didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibu atau ayahnya.
"Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri."
Mengobati hatinya, Malik mencari pergaulan dengan anak-anak muda Maninjau. Ia
belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar kaba,
kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat
musik tradisional Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi
dan Payakumbuh,
sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Hampir setahun ia
terlantar hingga saat ia berusia 14 tahun, ayahnya merasa resah dan
mengantarnya pergi mengaji kepada ulama Syekh
Ibrahim Musa di Parabek,
sekitar lima km dari Bukittingg. Di Parabek, untuk pertama kalinya Hamka
hidup mandiri.
Di
Parabek, Malik remaja berlajar memenuhi kebutuhan harian sebagai santri.
Meskipun belajar menyesuaikan diri, Malik masih membawa kenakalannya. Malik
pernah jail menakuti penduduk sekitar asrama yang mengaitkan wabah demam di
Parabek dengan keberadaan hantu yang berwujud seperti hariamau. Karena tak
peraya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya tahayul, ia menyamar
menyerupai ciri-ciri hantu pada malam hari. Dengan mengenakan serban dan
mencoret-coret mukanya degan kapur, Malik berjalan keluar asrama. Orang-orang
yang melihat dan ketakutan keesokan hari berencana membuat perangkap, tetapi
Malik segera memberi tahu teman seasramanya tentang kejailannya, meyakinkan
bahwa hantu itu tidak ada. Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang
dibebaskan untuk keluar dengan pergi berkeliling kampung sekitar Parabek.
Karena tertarik mendengar pidato adat, Malik menghadiri pelantikan-pelantikan
penghulu, saat para tetua adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghafal
petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato adat yang didengarnya.[3]
Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru.[4][5]
Perantauan
Malik
sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah tempat di
Minangkabau. Ayahnya memberinya julukan "Si Bujang Jauh" karena ia
selalu menjauh dari orangtuanya sendiri. Dalam usia baru menginjak 15 tahun,
Malik telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia melarikan diri dari rumah, tanpa
diketahui ayahnya dan hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Dari Maninjau,
Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos pemberian andungnya. Ia menempuh
perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu di Bengkulu,
berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta tambahan ongkos.
Namun, dalam perjalananya, Malik didera penyakit beruntun. Ia ditimpa penyakit
malaria saat sampai di Bengkulu. Dalam kondisi sakit dan tubuhnya mulai
diserang cacar, Malik meneruskan perjalanan ke Napal Putih dan bertemu kerabatnya.
Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih, kerabatnya memulangkan
Malik ke Maninjau. Bekas luka cacar menyisakan bopeng di sekujur tubuhnya
membuat Malik remaja minder dan dicemooh teman-temannya.
Danau
Maninjau, pemandangan sebelah barat Nagari Sungai Batang
Pada
Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia menumpang di rumah
Marah Intan sesama perantau Minang dan bertemu adik ayahnya, Jafar
Amrullah di Yogyakarta. Pamannya itu membawanya ke tempat Ki Bagus Hadikusumo untuk belajar tafsir
Al-Quran. Hamka menemukan keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas
makna ayat-ayat Al-Quran secara mendalam. Dari Ki Bagus, Malik mengenal Sarekat
Islam dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan
Sarekat Islam, ia menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di
antara gurunya waktu itu adalah HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto.
Cokroaminoto menaruh perhatian kepada Malik karena semangatnya dalam belajar.
Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang
didapatnya.
Pergerakan
Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Malik. Dari pengalamannya di
Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup, suatu perjuangan, dan
suatu pendirian yang dinamis. Ia mendapati organisasi dan tokoh-tokoh
pergerakan di Jawa memusatkan diri pada perjuangan untuk memajukan umat Islam
dari keterbelakangan dan ketertindasan, ketika perhatian umat Islam di Minangkabau terseret pada
perdebatan praktik ritual Islam. Setelah melewatkan waktu enam bulan di
Yogyakarta, Malik bertolak ke Pekalongan untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya,
Ahmad Rasyid Sutan Mansur.[6]
Pertemuannya dengan Sutan Mansur mengukuhkan tekadnya untuk terjud dalam
perjuangan dakwah. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan mengikuti
berbagai pertemuan Muhammadiyah dan berlatih berpidato di depan umum. Di
Pekalongan, Malik bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir setelah
ditundanya Kongres
Kekhalifahan Internasional pada 1924.
Kembali
ke Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul menginisiasi
pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri lebih
dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk diakui sebagai
cabang dari Yogyakarta. Dalam rangka mempersiapkan mubalig dan guru
Muhammadiyah, Haji Rasul menggerakkan murid-murid Thawalib membuka Tabligh Muhammadiyah
di Sungai Batang. Malik memimpin
latihan pidato yang diadakan kursus itu sekali sepakan. Ia membuatkan pidato
bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato yang bagus ia muat dalam majalah Khatibul
Ummah yang dirintisnya dengan tiras 500 eksemplar. Malik melengkapi dan
menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan. Gurunya
Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan
distribusi majalah. Beberapa orang belajar kepada Malik membuat materi pidato.
Selain itu, ia menuangkan pengetahuannya melalui tulisan untuk membendung
penyebaran komunis. Dari kesibukannya menulis dan menyunting naskah pidato,
Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya dalam menulis. Namun, karena
alasan keuangan, Khatibul Ummah hanya terbit tiga nomor.[7]
Pada
pengujung 1925, pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengutus Sutan Mansur
ke Minangkabau. Sejak itu, Malik selalu mendampingi Sutan Mansur berdakwah dan
merintis cabang Muhammadiyah.[8]
Bersama Sutan Mansur, ia ikut mendirikan Muhammadiyah di Pagar
Alam, Lakitan, dan Kurai Taji.[9]
Ketika Syekh
Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat menggantikan Syekh Mohammad Jamil Jaho sebagai ketua
Muhammadiyah cabang Padangpanjang, Malik diangkat sebagai wakil ketua.[10]
Penerimaan dan ibadah haji
Meskipun
disambut baik saat kepulangannya, Malik dianggap hanya sebagai tukang pidato
daripada ahli agama di kampung halamannya. Dalam membacakan ayat atau kalimat
bahasa Arab, Malik dinilai tidak fasih karena tidak memahami tata letak bahasa,
nahwu, dan sharaf. Kekurangannya dikait-kaitkan karena ia tidak
pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Menurut kesaksian Hamka, ia
memang kerapkali salah dalam melafalkan bahasa Arab, walaupun ketika
menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hasil terjemahannya jauh lebih bagus
daripada teman-temannya. Malik berasa kecil hati dengan dirinya karena tidak
ada pendidikan yang diselesaikannya. Ayahnya menasihatkan agar ia mengisi
dirinya dengan ilmu pengetahuan karena "pidato-pidato saja adalah
percuma". Saat Muhammadiyah membuka sekolah di Padangpanjang, ia bersama
banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa ikut melamar sebagai guru. Para
pelamar diharuskan mengisi formulir yang menerangkan nama, alamat, dan
pendidikan disertai lampiran bukti kelulusan seperti diploma atau ijazah. Pada
hari pengumuman pelamar yang lolos sebagai guru, Malik tidak lolos karena tidak
memiliki diploma. Hal ini menambah kekecewaan Malik sejak kepulangannya.
Kepada
andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya. Dari andungnya,
Malik diceritakan bahwa ayahnya pernah berjanji akan mengirimnya belajar ke
Mekkah selama sepuluh tahun. Karena takut kepada ayahnya, Malik merencanakan
sendiri kepergiannya ke Mekkah. Ia tak menuturkan ke mana hendak pergi kepada
ayahnya, hanya berkata hendak pergi ke tempat yang jauh. Karena keterbatasan
ongkos, Malik berjalan kaki dari Maninjau ke Padang. Ketika kapal yang
membawanya singgah di pelabuhan Belawan, Malik bertemu temannya, Isa yang
mambantu ongkos perjalanannya. Pada permulaan Februari 1927, bertepatan dengan
keberangkatan jemaah haji Indonesia pada bulan Rajab, Malik berangkat dari Pelabuhan
Belawan menuju Jeddah.
Selama di kapal, ia amat dihormati lantaran kepandaiannya membaca Al-Quran. Orang-orang
memanggilnya dengan sebutan ajengan. Dalam memoarnya, Hamka mengenang dirinya
ditawari kawin dengan seorang gadis Bandung yang memang telah menawan hatinya,
tetapi ia menolak. Sewaktu itu, kata Hamka, biasa saja orang menikah di atas
kapal.[11]
Masjidil
Haram, Mekkah
pada 1900-an. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi
baginya untuk menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah
Sampai
di Mekkah, ia mendapat tumpangan di rumah pemandu haji "syekh" Amin
Idris. Untuk memenuhi biaya hidup, ia bekerja di percetakan Tuan Hamid Kurdi,
mertua ulama Minangkabau Ahmad Chatib. Di tempat ia bekerja, ia
dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa
Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. Menjelang pelaksanaan ibadah
haji berlangsung, ia bergabung dengan perkumpulan orang-orang Indonesia
Persatuan Hindia-Timur. Ia memiliki bahasa Arab yang fasih. Ketika perkumpulan
itu berencana menyelenggarakan manasik haji bagi jemaah Indonesia, Malik
dipercaya memimpin anggota delegasi menemui Amir Faishal, putra Ibnu Saud
dan Imam Besar Masjidil
Haram Abu Samah. Pengajarannya
berlangsung di kompleks Masjidil Haram. Malik sempat memberikan pelajaran agama
sebelum ditentang oleh pemandu hajinya.
Ketika
waktu berhaji tiba di tengah musim panas, Malik sempat ditimpa sakit kepala dan
tak dapat berjalan ke mana-mana. Ia tak sadarkan diri hingga lepas tengah
malam. Begitu mudah orang mati, sampai ia merasa barangkali tentu akan mati.
Selepas menunaikan haji, ketika jemaah haji menurut kebiasaan menghadap syekh
masing-masing untuk dipasangkan serban dan diberikan nama, Malik mengelak. Ia
menyebut kebiasaan itu sebagai "perbuatan khurafat". Sempat berencana
menetap di Mekkah, Malik memutuskan pulang setelah bertemu Agus Salim.
Karena Agus Salim urung mengikuti Kongres Islam Sedunia yang batal diadakan,
waktu yang dimiliki Agus Salim dimanfaatkan Malik untuk menambah pengetahuan
tentang perkembangan politik Indonesia. Hampir seminggu Malik menyediakan diri
sebagai khadam atau pelayan saat Agus Salim menaihatinya untuk segera
pulang. "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan,
studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik
mengembangkan diri di Tanah Airmu sendiri", ujar Agus Salim.
Menulis dan mengarang
Malik
kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya
pulang ke Padangpanjang, ia memilih turun di Medan, kota tempat
berlabuhnya kapal yang membawanya pulang. Medan menandai awal terjunnya Malik
dalam jurnalistik. Ia mulai menulis dan mengirimkan tulisannya ke berbagai
majalah. Sejak laporan perjalanannya ke Mekkah dimuat di surat kabar Pelita
Andalas, tulisannya diminati banyak orang. Muhammad Ismail Lubis, pimpinan
majalah Seruan Islam mengirimkan permintaan kepada Malik untuk menulis.
Selain menulis untuk surat kabar dan majalah lokal, Malik mengirimkan
tulisannya ke Suara Muhammadiyah pimpinan Abdul Azis dan Bintang
Islam pimpinan Fakhroedin. Namun, karena penghargaan atas karya tulis saat
itu masih demikian kecil, Malik mengandalkan honor dari mengajar untuk menutup
biaya hidupnya. Ia memenuhi permintaan mengajar dari pedagang-pedagang kecil di
Kebun Bajalinggi. Waktu itulah ia menyaksikan kehidupan kuli dari dekat yang
kelak menggerakkannya menulis Merantau Ke Deli.[12]
Sewaktu
di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat memintanya pulang.
Malik baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan kakak iparnya, Sutan Mansur.
Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan pulang dari Lhoksumawe pada
akhir 1927. Malik menyusul ayahnya di Sungai Batang—rumah mereka di
Padangpanjang luluh lantah akibat gempa bumi setahun sebelumnya.
Setiba di kampung halamannya, Malik bertemu ayahnya secara mengharukan. Ayahnya
terkejut mengetahui Malik telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri.
"Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya
ketika itu sedang susah dan miskin." Peneriman ayahnya membuat Malik sadar
betapa besar kasih ayahnya terhadap dirinya. Menebus rasa bersalah, Malik
bersedia memenuhi permintaan ayahnya untuk dinikahkan. Ia menikah dengan Sitti
Raham pada 5 April 1929.
Di
Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah.
Roman itu mulai disusunnya ketika di Medan. Ia menunjukkan Si Sabariyah
pertama kali di depan ayahnya, Jamil
Jambek, dan Abdullah Ahmad dengan membacakannya sewaktu mereka
berkumpul dalam Rapat
Besar Umat Islam di Bukittinggi pada Agustus 1928. Dari Abdullah Ahmad, ia
mendapat motivasi untuk terus mengarang dengan memasukkan nilai-nilai agama ke
dalam roman-romannya. Ketika terbit, Si Sabariyah laris di pasaran
hingga dicetak tiga kali. Kenyataan ini melecut semangatnya dalam melaksanakan
kewajiban dakwah melalui tulisan.[13]
Tumbuh kepercayaan dirinya bahwa ia memiliki kualitas tersendiri karena
menguasai dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.[14]
Dari honor Si Sabariyah, Malik membiayai pernikahannya kelak. Setelah
menikah, Malik menulis kisah Laila Majnun yang dirangkai Malik
"dengan khayalannya" setelah membaca hikayat Arab "dua
halaman". Pada 1932, Balai Pustaka, penerbit utama kala itu menerbitkan Laila
Majnun dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama tokoh. Penerimaan Balai
Pustaka membesarkan hatinya dan memacunya untuk lebih giat lagi menulis dan
mengarang.
Muhammadiyah
Setelah
tiga bulan menikah, Malik bersama istrinya pindah ke Padangpanjang. Dalam
kepengurusan Muhammadiyah, ia menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Padangpanjang
dan merangkap sebagai pimpinan Tabligh School setingkat madrasah tsanawiyah yang diadakan Muhammadiyah.[15]
Pengajarannya menempati gedung Muhammadiyah di Guguk Malintang
setiap selasa malam dan dihadiri banyak orang.22[16]
Sebagai wadah pembentukan kader-kader Muhammadiyah, mata pelajaran Tabligh
School berkisar tentang kepemimpinan, strategi dakwah, dan penyebaran dakwah
Muhammadiyah. Malik mengajar bersama Sutan Mansur dan Sutan Mangkuto. Caranya mengajar dianggap
baru, berbeda dengan yang lain. Salah seorang muridnya, Malik
Ahmad kelak menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah.
Ketika
diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal 1929, Malik datang
sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri kongres
Muhammadiyah berikutnya. Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu dengan tokoh
pimpinan Muhammadiyah, Fakhruddin. Hamka menyebut Fakhruddin sebagai salah
seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam agama. "Keberanian dan
ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani dan tegas pula."
Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu A.
Hassan dan Mohammad Natsir. Ketika Muhammadiyah mengadakan
kongres di Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam
dalam Adat Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka
sebagai pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres
Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, Malik menyampaikan pidato
mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatera. Ia mampu memukau sebagian besar
peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang yang menitikkan air
mata. Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis, ia dipercayakan
oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21
di Makassar.[17][18]
Selama
di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam Tentera sebanyak
empat edisi dan majalah Al-Mahdi sebanyak sembilan edisi. Keberadaan
Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pempimin Muhammadiyah setempat.[19]
Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padangpanjang. Menggantikan
sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola pendidikan baru
secara modern dan sistematis dengan mengambil model pendidikan Barat, tanpa
melepaskan diri dari nilai-nilai agama. Sepeninggal Hamka pada 1934, Tabligh
School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah asuhan
Muhammadiyah. Dari pergaulannya dengan masyarakat Makasar, ia mendapat
inspirasi dalam menulis novelnya kelak, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Kembali
ke Padangpanjang pada 1934, Malik diserahi untuk memimpin Kulliyatul Mubalighin
sebagai ganti Tabligh School yang mengalami kemunduran sepeninggalnya.[20]
Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini dimaksudkan untuk menyiapkan
mubalig dan guru sekolah menengah tingkat tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul
Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya berpidato dan mengarang.[21]
Pada
1934, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera
Tengah—yang meliputi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau.
Pedoman Masyarakat
Dari
pengalamannya di Padangpanjang dan Makassar, Hamka merasa bakatnya sebagai
pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru. Pada Januari 1936,
Hamka berangkat ke Medan, memelopori jurnalistik Islam dan menekuni
karang-mengarang. Ia memenuhi permintaan Muhammad Rasami, tokoh Muhammadiyah
Bengkalis untuk memimpin Pedoman Masyarakat di bawah Yayasan Al-Busyra
pimpinan Asbiran Yakub.[22]
Kulliyatul Mubalighin yang ditinggalkannya diteruskan oleh Abdul Malik Ahmad
sampai 1946.[23]
Pedoman Masyarakat beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada
1935.[24]
Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Malik menjadi pemimpin redaksi
pada 22 Januari 1936.[25][26]
Majalah itu mengupas pengetahuan umum, agama, dan sejarah. Melalui kedudukannya
sebagai pemimpin redaksi, Hamka menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah
tokoh pergerakan.[27][28]
Pada Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap Hatta
dan Sjahrir
dengan mengasingkan mereka ke Boven
Digul. Melalui Pedoman Masyarakat pula, Malik untuk pertama kalinya
memperkenalkan nama pena "Hamka".
Hamka
mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Mengangkat masalah
penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan
keturunan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah.
Hamid terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga.
Melihat animo masyarakat yang luas, Balai
Pustaka menerbitkan Di Bawah Lindungan Ka'bah pada 1938. Setelah Di
Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
tentang percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir
dengan kematian. Sewaktu dimuat sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia
mendapat banyak surat dari pembaca, sebagian meminta agar Hayati hati
"jangan sampai dimatikan", sebagian mengungkapkan kesan mereka
"seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri". Namun, sejumlah
pembaca Muslim menolak Van Der Wijck karena menurut mereka seorang ulama
tak pantas menulis roman percintaan. Ia pernah dijuluki kiai cabul.[29]
Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman Masyarakat pada 1938. Ia
menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya. Ia
merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan
bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.
Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan
Setelah
Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda dan menduduki Medan pada 13
Maret 1942, majalah Pedoman Masyarakat berhenti terbit.[30]
Sembari memfokuskan perhatiannya memimpin Muhammadiyah, Hamka berusaha
mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran. Kedudukan Hamka sebagai tokoh
Muhammadiyah menjadi perhatian Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi
anggota Chuo Sangi-in untuk
Sumatera, yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatera Timur Letnan Jendral T.
Nakashima. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang
yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesi. Namun, sikap kompromistis dan
kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci,
dan dipandang sinis oleh masyarakat. Hamka mengungkapkan bahwa bulan Agustus
sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit selama hidupnya, berada di
tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di depan anak-anaknya ia berkata,
"sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah bunuh diri." Hal ini
membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padangpanjang. Hamka tiba di Aur
Tajungkang, Bukittinggi pada 14 Desember 1945.
Kembali
ke Sumatera Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukan kaki
tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada
masa ini terbit buku-bukunya, seperti Negara Islam, Islam dan
Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita.[31]
Ketika berlangsung konferensi Muhammadiyah di Padangpanjang pada 22 Mei 1946,
Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat,
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto yang diangkat
menjadi Bupati Solok. Posisi
sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan
cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan penyiaran Islam. Kiprah
Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan dengan terjadinya
perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air.
Selama
perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang lainnya ambil
peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang mengikuti perang
gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tabligh
revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan
kelompok-kelompok pejuang lainnya. Hamka ikut mendirikan Barisan Pengawal
Nagari dan Kota (BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali perananya dalam
perang gerilya melawan pasukan Belanda di Sumatera Barat. Ia bergerilya
masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatera Barat dan
Riau untuk mengobarkan semangat perjuangan. Tatkala Front Pertahanan
Nasional (FPN) dibentuk secara resmi di Sumatera Barat pada 12 Agustus
1947,[32]
Hamka ditunjuk oleh Muhammad Hatta sebagai salah seorang pimpinan.
Bersama-sama dengan pimpinan FPN lain, yaitu Khatib
Sulaiman, Rasuna Said dan Karim
Halim, FPN di Sumatera Barat berhasil menghimpun tidak kurang dari 500.000
pemuda yang berusia antara 17-35 tahun.[33][34][35]
Saat
tentara Belanda menduduki Padangpanjang tahun 1948, Hamka mengungsikan
keluarganya ke Sungai Batang. Selama berbulan-bulan, Hamka tak bertemu
anak-anaknya. Putra Hamka, Rusydi Hamka menuturkan, mereka hanya bisa memakan ubi
dan bubur. "Waktu itulah, Aliyah
nyaris menemui ajalnya karena terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah
terserang penyakit."
Pindah ke Jakarta
Hamka bersama istri dan anak-anaknya.
Dari pernikahannya dengan Sitti Raham, ia dikaruniai sebelas orang anak
(delapan dalam foto)
Pada
bulan Desember 1949, Hamka pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia semula
menyewa rumah milik keluarga Arab di Jalan Toa Hong II, Kebun Jeruk.[36]
Untuk memulai hidup, Hamka mengandalkan honorarium buku-bukunya yang
diterbitkan di Medan sambil mengirim menulis untuk surat kabar Merdeka
dan majalah Pemandangan. Dalam surat kabar Abadi, Hamka mengasuh rubrik
"Dari Perbendaharaan Lama" yang terbit dalam edisi Minggu. Beberapa
karangannya sempat terbit majalah Mimbar Indonesia yang dipimpin H.B.
Jassin dan majalah Hikmah.
Ia
diangkat sebagai pegawai Kementerian Agama yang pada
waktu itu menterinya dimpimpin KH Wahid
Hasyim. Ia diserahi tugas mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam. Di
antaranya Universitas Islam Jakarta, PTAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta), dan Universitas Muslim Ujung Pandang. Hamka banyak
diundang ke berbagai tempat untuk ceramah.
Pada
1950, usai menunaikan ibadah haji, Hamka mengunjungi beberapa negara Arab dan
mendapatkan banyak inspirasi untuk menulis. Ia menulis tiga romannya yakni Mandi
Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai
Dajjah. Hamka menjadi delegasi Indonesia dalam sejumlah konferensi
internasional. Pada 1952, ia mendapat undangan dari Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat untuk mengadakan kunjungan ke negara itu. Dari kunjunganya, ia
mengarang buku Empat Bulan di Amerika. Pada 1953, ia mengikuti Misi
Kebudayaan RI ke Muangthai dipimpin Ki Mangunsarkoro. Pada 1954, ia berangkat
ke Burma
mewakili Departemen Agama dalam perayaan 2.000 tahun wafatnya Siddhartha Gautama.
Berstatus
sebagai pegawai pemerintah, Hamka pada saat yang terjun dalam kancah politik.
Ia bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) yang menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme konstitusional.
Namun, aktivitasnya di dunia politik kelak menyebabkan Hamka harus melepaskan
kedudukannya di Departemen Agama setelah Soekarno pada 1960 meminta para
pegawai untuk memilih: tetap menjadi pegawai atau anggota partai. Pada pemilihan umum 1955, ia
terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Dalam
sidang-sidang Konstituante, ia menyampaikan pidato tentang bahasa, hak-hak
azasi manusia, dasar negara, dan tanggapan atas pidato Presiden Soekarno
berjudul "Republika" (yang mengajak kembali ke UUD 1945 dan ide
"kabinet kaki empat"). Hamka menolak gagasan Presiden Soekarno yang
akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Ketika terjadi perdebatan
mengenai dasar negara, Hamka bersama Mohammad
Natsir, Mohammad Roem, dan Isa
Anshari secara konsisten memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara
Indonesia. Hamka mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar
apapun di dunia. Ia meragukan pendapat yang menga takan bahwa Pancasila
mencerminkan gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia sekalipun ia
menghargai usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. Dalam pidatonya, Hamka
mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila
dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub dalam Piagam
Jakarta. Perdebatan itu berujung pada dikeluarkannya Dekrit
Presiden.
Masjid Agung Al-Azhar
Pada
tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah kediaman untuk anak dan istrinya di
Jalan Raden Patah, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan. Di depan rumahnya direncanakan akan dibangun sebuah masjid yang
digagas oleh tokoh-tokoh Masyumi, tetapi panitia pembangunan belum mendapatkan
tokoh yang tepat untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Pada
saat itulah Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim yang diberi tugas mencari tokoh
tersebut menghadap Hamka untuk meminta kesediaannya. Permohonan ini diterima
oleh Hamka. Dalam suatu pertemuan, ia menyarankan agar masjid itu dibangun
terlebih dahulu dan juga menyarankan agar bangunannya disertai dengan ruang
kantor, ruang pertemuan, dan ruang perkuliahan yang dapat digunakan untuk
kegiatan-kegiatan dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya.
Sebelum
pembangunan masjid itu selesai, Hamka menghadiri undangan sebuah konferensi
Islam dari Universitas Punjab di Lahore, Pakistan
pada Januari 1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di
Lahore bersama Hasbi Ash-Shieddiqy dan KH
Anwar Musaddad. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir
sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno, yang kebetulan ketika itu
sedang berkunjung ke Mesir. Dalam kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan
Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di Universitas Al-Azhar pada Februari 1958. Di
gedung Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh paham
Muhammad
Abduh di Indonesia dan Malaya. Hamka menguraikan tentang kebangkitan
gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia seperti Thawalib, Muhammadiyah,
Al-Irsyad,
dan Persis. Dalam ceramahnya ia mendapat sambutan luas
dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang dinilai
sangat baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di
Asia Tenggara, yang di Mesir sendiri sangat terbatas sekali yang mengenalnya.
Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan ke Mekkah, Jeddah, dan
Madinah. Ketika memenuhi undangan dari pihak istana Kerajaan Arab Saudi, ia
menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah
mengambil keputusan hendak memberinya gelar Ustadziyah Fakhriyyah, gelar
ilmiah tertinggi dari universitas itu yang setara dengan Doktor
Honoris Causa.
Pada
Desember 1960, Syekh Mahmud Shaltut, Imam Besar Al-Azhar, beserta rombongan datang
ke Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam lawatan ini, Mahmud Shaltut
meninjau Masjid Agung Kebayoran Baru.
Tuduhan plagiat dan makar
Hamka (duduk) bersama Natsir
(kiri) dan Isa Anshary (kanan). Mereka sempat dijebloskan
ke dalam penjara oleh rezim Soekarno.
Kedekatan
Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut menjadi bulan-bulanan dari
pihak PKI. Organisasi sayap PKI, Lekra menuduhnya sebagai "plagiator
" dan pemerintah waktu itu menuduhnya sebagai orang yang akan berusaha
melakukan makar. Pada September 1962, Lekra menuduh novel Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
dalah jiplakan dari karya pengarang Prancis Alphonse Karr Sous les Tilleus.
Novel Sous les Tilleus diterjemahkan oleh Mustafa Lutfi Al-Manfaluti ke bahasa
Arab. Pada tahun 1963, novel edisi Arab ini diindonesiakan AS Alatas dengan
judul Magdalena.
Keadaan
memburuk bagi Hamka ketika Panji Masyarakat memuat artikel Muhammad
Hatta berjudul "Demokrasi Kita". Setelah penerbitan Panji
Mayarakat berhenti sejak 17 Agustus 1960, tulisannya satu setengah juz
dimuatkannya dalam majalah Gema Islam sampai akhir Januari 1962, yaitu
dari juz 18 sampai juz 19. Ceramah-ceramah Hamka tiap subuh selalu dimuat
secara teratur dalam majalah hingga Januari 1964.
Pada
27 Januari 1961, bertepatan dengan awal bulan Ramadhan 1383, kira-kira pukul 11
siang, Hamka dijemput di rumahnya, ditangkap dan dibawa ke Sukabumi.
Ia dituduh terlibat dalam perencanaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno.
Selama 15 hari ditahan, ia diintrogasi dalam pemeriksaan yang digambarkannya,
"tidak berhenti-henti, siang-malam, petang pagi. Istirahat hanya ketika
makan dan sembahyang saja." Melewati pemeriksaan yang kejam, Hamka sempat
berpikir untuk bunuh diri. Karena jatuh sakit, Hamka dipindahkan dari tahanan
ke RS Persahabatan. Selama
perawatan di rumah sakit ini, Hamka meneruskan penulisan Tafsir Al-Azhar.
Ia mengaku wajah-wajah jemaahnya yang terbayang ketika ia mulai mengoreskan
pena untuk menulis tafsir
Hamka
ditetapkan sebagai tahanan politik selama dua tahun sejak 28 Agustus 1964,
diikuti tahanan rumaah dua bulan dan tahanan kota dua bulan.
Orde Baru
Pada
30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya Musyawarah Antar
Agama. Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka agama yang diakui secara resmi di Indonesia,
pemerintah mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan penryataan
bersama dalam piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar
tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama
lain.” Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah tidak
gagal menyepakati penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan
Kristen merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan
kebebasan penyebaran Injil. Dalam pidatonya, A.M.
Tambunan menyampaikan pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan Pekabaran
Injil kepada orang yang belum Kristen adalah "Titah Ilahi yang wajib
dijunjung tinggi". Meskipun Musyawarah Antar Agama dianggap gagal oleh
banyak pihak, Hamka menganggap musyawarah itu berhasil karena telah mengungkap
"apa-apa yang selama ini belum terungkapkan secara gamblang".
Setelah
bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan
internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke Malaysia atas undangan Perdana
Menteri Tengku Abdul Rahman. Pada 1968, ia menghadiri Peringatan Masjid Annabah
di Aljazair.
Dari Aljazair, ia mengungjungi beberapa negara sperti Spanyol, Roma, Turki,
London, Saudi Arabia, India, dan Tahiland. Pada 1969, bersama KH Muhammad Ilyas dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Anwar Tjokromaminoto,
Hamka mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam membahas
konflik Palestina-Israel di Rabat, Maroko.
Dalam
musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September–4 Oktober 1970,
Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah, mengapungkan
gagasan pembentukan Majelis Ulama. Meskipun didukung oleh Menteri Agama KH
Muhammad Dahlan, sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti Mohammad
Natsir dan Kasman Singodimedjo melihat bahwa lembaga itu
hanya akan menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam. Namun, Hamka
memandang penting pembentukan Majelis Ulama perlu sebagai jembatan pemerintah
dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat mengurangi rasa curiga antara
pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani mengkritik perbuatan pemerintah
yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena ketegasan pendiriannya itu, ia
akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia pun berani membela satu langkah
pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan yang benar, walaupun karena itu ia
pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka dalam Panji Masyarakat
pada 1 Juli 1974.
Pada
1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan membawa paper
tentang Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka menerima gelar
kehormatan Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia.
Pada 1975, ia mengahdiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia menghadiri
Konferensi Islam di Kucing, Serawak, Malaysia Timur. Pada 1976, ia mengikuti
Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan Malaysia
dengan paper "Pengaruh Islam pada Kesusastraan Melayu". Pada
1977, ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar
Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di Kairo. Di Lahore, Hamka menyampaikan makalahnya
tentang Muhammad Iqbal, menyoroti pengaruh Iqbal dalam membawa identitas Muslim pada
Jinnah.[37]
Ketua MUI
Ketika
Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk
pada 26 Juli 1975, Hamka dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI.[38]
Pada hari itu pula, Hamka berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia
menyampajkan pidato saat pelantikan diarinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya
bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer,
"tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut."
Ia menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat terletak di
tengah-tengah, "laksana kue bika yang sedang dimasak dalam periuk belanga"
dan dibakar api dari atas dan bawah. "Api dari atas ibarat harapan
pemerintah, sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam. Berat ke atas,
niscaya putus dari bawah. Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi ulama yang
didukung rakyat. Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan pemerintah."
Meski
berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi
kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung
dengan sangat massif, ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga
independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Sebagai Ketua MUI, ia
meminta agar ia tidak digaji sebagai Ketua MUI. Ia memilih menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat kegiatan
MUI alih-alih berkantor di Masjid
Istiqlal. Selain itu, ia meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti
ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara
pemerintah dan ulama. Pemerintah bersedia mengakomodasi permintaan Hamka.
Pemerintah
Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden
Soeharto sejak mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan
agar di Indonesia terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamka sebagai Ketua MUI
pada 21 September 1975 menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa
Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-Mumtahinah ayat 7 dan 8, bahwa tidak
dilarang oleh Al-Quran orang Islam itu hidup rukun dan damai dengan pemeluk
agama lain. "Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup rukun dengan
mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak kita untuk keluar
dari tanah air kita sendiri." MUI telah menerima anjuran pemerintah
tentang kerukunan umat beragama.
Pada
1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama
puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Fatwa MUI dan pengunduran diri
Pada
7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat
Islam menanggapi banyaknya instansi pemerintah menyatukan perayaan Natal dan
Lebaran lantaran kedua perayaan itu berdekatan. Dianggap sebagai bentuk
toleransi, sebagaimana dicatat oleh Hamka, "kedua belah pihak, baik orang
Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Quran atau orang Islam yang
disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu adalah satu ditambah dua sama dengan
satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan
tidak dapat mereka terima." Jan S. Aritonang dalam Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia mencatat, Hamka menyebut
kebiasaan itu bukan bentuk toleransi, tetapi memaksakan kedua penganut Islam
dan Kristiani menjadi munafik. Dalam khutbahnya di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka
menyampaikan, "haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri
upacara Natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari
lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut
menghadirinya, berarti ia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik."
MUI
memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya haram, meskipun
tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal tidak dapat
dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan. Namun, keluarnya fatwa MUI
menulai kecaman dar pemerintah. Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara meminta
fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam dan
Kristen. Menurut Ketua Komisi Fatwa Syukri
Ghozali, sebagaimana dikutip Tempo,
fatwa itu sebenarnya dibuat agar Departemen Agama menentukan langkah dalam
menyikapi Natalan-Lebaran yang kerap terjadi. Namun, fatwa itu menyebar ke
masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama.
Menyikapi hal itu, Hamka mengeluarkan surat keputusan (SK) mengenai penghentian
edaran fatwa. Dalam surat pembaca yang ditulis dan dimuat oleh Kompas 9 Mei 1981, Hamka menjelaskan SK
itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal. "Fatwa itu
dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan
pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah
Islamiyah."
Menanggapi
tuntutan pemerintah untuk mencabut fatwa, Hamka memilih meletakkan jabatan
sebagai Ketua MUI. Dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka, Shobahussurur mencatat
perkataan Hamka. "Masak iya saya harus mencabut fatwa," kata Hamka
sambil tersenyum sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua
MUI kepada Departemen Agama. Mundurnya Hamka dari MUI mengundang simpati
masyarakat Muslim pada umumnya. Kepada seorang sahabatnya, M.
Yunan Nasution, Hamka mengungkapkan, "waktu saya diangkat dulu tidak
ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram
dan surat-surat yang isinya mengucapkan selamat."
Meninggal
Kesehatan
Hamka menurun setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI. Meningikuti
anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga Hamka, Hamka diopname di
Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, bertepatan dengan awal Ramadan.
Pada hari keenam dirawat, Hamka sempat menunaikan salat Dhuha dengan bantuan
putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa
kondisinya, menyatakan bahwa ia berada dalam keadaan koma. Tim dokter
menyatakan bahwa ginjal, paru-paru, dan saraf sentralnya sudah tidak berfungsi
lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung. Pada
pukul sepuluh pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat
pacu jantung, dan Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.[39]
Hamka
meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB dalam usia 73
tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara
pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir hadir Presiden
Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik,
Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim,
dan Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya. Jenazah
Hamka dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan dishalatkan lagi, sebelum dimakamkan
di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara.[39]
Sepeninggal
Hamka, pemerintah menyematkan Bintang Mahaputra Utama secara anumerta
kepada Hamka. Sejak 2011, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Namanya diabadikan untuk perguruan tinggi Islam di Jakarta milik Muhammadiyah,
yakni Universitas Muhammadiyah Hamka.
Dari syair berbahasa Minang ciptaan Agus Taher, Zalmon menyanyikan
lagu Selamat Jalan Buya untuk mengenang wafatnya Hamka.[39]
Novelis Akmal Nasery Basral dan Haidar Musyafa
masing-masing menulis novel dwilogi tentang kisah perjalanan Hamka. Pada 2016,
Majelis Ulama Indonesia berencana mengangkat kisah Hamka ke dalam film.
Pengakuan umum
Hamka
diakui secara luas sebagai seorang pemikir Islam Asia Tenggara. Perdana Menteri
Malaysia Tun Abdul Razak, ketika menghadiri penganugeragan
gelar kehormatan Honoris Causa oleh Universitas Kebangsaan Malaysia
kepada Hamka, menyebut Hamka sebagai "kebanggaan bangsa-bangsa Asia
Tenggara". John L. Espito dalam Oxford History of
Islam menyejajarkan Hamka dengan Sir
Muhammad Iqbal, Syed Ahmed Khan, dan Muhammad
Asad. Menurut peneliti sejarah Asia Tenggara modern James
Robert Rush, Hamka hanyalah satu di antara banyak orang dalam generasinya
yang dikenal sebagai politikus, ulama, dan pengarang. Namun, "Hamka tampak
menonjol ketika di antara mereka ada yang lebih terpelajar, baik dalam
pengetauan Barat maupun studi yang mendalam tentang Islam."
Presiden
ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid menulis, Hamka memiliki
orientasi pemikiran Hamka yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat akan
perubahan.[40]
Tokoh Nahdatul Ulama A. Syaikhu menyebut, Hamka
menempatkan dirinya tidak hanya sekedar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau
organisasi Muhammadiyah, tetapi sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan,
tanpa memandang golongan.[41]
Nurcholish Madjid dalam buku Kenang-kenangan
70 Tahun Buya Hamka mencatat peranan dan ketokohan Hamka sebagai figur
sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya mobilitas vertikal atau
gerakan ke atas agama Islam di Indonesia. "Hamka berhasil merubah postur
kumal seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur yang patut menimbulkan rasa
hormat dan respek."
Hamka
berada di posisi terdepan dalam masyarakat Islam modern Indonesia yang sedang
mengalami modernisasi. Ia menginisiasi berdirinya sekolah-sekolah Islam di
Indonesia dengan mencetuskan ide konkret model lembaga pendidikan Islam modern.
Ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk
mewakili suara umat Islam. Mantan Menteri Agama Mukti Ali
mengatakan, "berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan
negara". Hamka termasuk pelopor jurnalisme Islam di Indonesia melalui
kiprahnya di majalah Pedoman Masyarakat.
Rosihan
Anwar menyebut Hamka sebagai wartawan besar.[42]
Melalui karya sastra, Hamka memberikan kontribusi dalam menyebarkan dan
menanamkan wacana mengenai persatuan Indonesia. Ia memberikan alternatif
sekaligus kritik terhadap adat yang dianggapnya usang. Selain itu, ia banyak
berkiprah dan terlibat dalam lembaga dan kongres kebudayaan nasional.
Meminati
dan melakukan kajian terhadap bidang sejarah, Hamka beberapa kali tampil dalam
seminar terkait bidang sejarah, baik di tingkat daerah, nasional, maupun
mancanegara. Pidato ilmiah yang disampaikannya sewaktu di Universitas Al-Azhar
menampakkan kemampuannya dalam ilmu sejarah. Buku Sejarah Umat Islam
yang ditulis Hamka banyak dijadikan rujukan, terutama karena keberhasilannya
menentukan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah. Deliar
Noer mengungkapkan, "Salah satu kelebihan Hamka sebagai sejarawan
dibandingkan dengan sejarawan lain yang keluaran akademis di Indonesia adalah
bahwa ia banyak mempergunakan teks-teks klasik seperti hikayat, catatan-catatan
kerajaan lama dan tulisan-tulisan ulama, selain mempergunakan tulisan-tulisan
orang Belanda."
Karya dan penerimaan
Seorang
otodidak dalam berbagai bidang ilmu, Hamka tercatat sebagai penulis Islam
paling prolifik dalam sejarah modern Indonesia. Karya-karyanya mengalami cetak
ulang berkali-kali dan banyak dikaji oleh peneliti Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Tulisannya telah menghiasi berbagai macam majalah dan surat kabar. Yunan
Nasution mencatat, dalam jarak waktu kurang lebih 57 tahun, Hamka
melahirkan 84 judul buku di luar artikel “Dari Hati ke Hati” yang terdapat
dalam Panji Masyarakat, majalah pimpinan Hamka. Minatnya akan bahasa
banyak tertuang dalam karya-karyanya. Di Bawah Lindungan Ka'bah,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,
dan Merantau Ke Deli
yang terbit di Medan melambungkan nama Hamka sebagai sastrawan. Ketiganya
bermula dari cerita bersambung yang diterbitkan oleh majalah Pedoman
Masyarakat. Selain itu, Hamka meninggalkan karya tulis yang menyangkut
tentang sejarah, budaya, dan bidang-bidang kajian Islam.
Meskipun
tidak menyelesaikan pendidikan formal, Hamka mempunyai banyak akses keilmuwan
karena kemampuan membacanya yang luas. Filolog Perancis GĂ©rard Moussay menulis, Hamka dengan hanya
bermodalkan pendidikan paling dasar telah berhasil dengan caranya sendiri
memperoleh pengetahuan yang maju dan unggul dalam bidang yang berbeda-beda,
seperti jurnalistik, sejarah, antropologi, politik, dan Islamolog. Namun, Abdurrahman
Wahid melihat Hamka tidak menguasai teori-teori dari satu atau lebih bidang
keilmuan. "Ia cenderung mengambil kesimpulan yang sudah ada dari para
pemikir besar dengan cara menyederhanakannya, dan kadang-kadang salah."[40]
Sastra
Karya-karya
Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat Minangkabau, terutama kawin paksa
dan hubungan kekerabatan yang menurut pandangannya tak bersesuaian dengan
cita-cita masyarakat Indonesia modern. Melalui Di Bawah Lindungan Ka'bah,
Hamka menggugat penggolongan berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh masyarakat
Minangkabau. Menurutnya, adat bertentangan dengan agama Islam yang memandang
kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Dalam Tuan
Direktur, Hamka menyindir tokoh Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu
yang kerap terburu nafsu sehingga mengabaikan nilai-nilai fundamental. Dalam Merantau ke Deli,
Hamka menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang
keberhasilan merantau
dan mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang baik dari satu daerah
saja. Pada kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan akan menjadi bahagia,
begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama.
Pada
akhir 1930-an, buku-buku Hamka telah dapat ditemukan di perpustakaan sekolah
umum. Para pelajar sering dianjurkan untuk membacanya. Novel-novel Hamka menuai
kesuksesan komersial dan berkali-kali cetak ulang. Di Bawah Lindungan Ka'bah
diangkat ke layar lebar pada 1981 dan 2011. Pada 2013, Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck untuk kali pertama difilmkan.
Ketika
pertama kali menulis roman, Hamka sempat dikecap dan dianggap tidak pantas
menulis kisah percintaan.[29]
HB Jassin melihat kritikan terhadap Hamka, antara
lain, disebabkan hukum yang menetapkan menulis karya sastra adalah satu dosa
dan haram. Hamka dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat menegaskan
menulis karya sastra bukan satu dosa, selain menjelaskan kegiatan menulis boleh
menjadi satu dakwah. HB Jassin mengutip pernyataan Hamka. "Seni atau
sastra Islam mestilah merangkumi keindahan dan kebenaran." Keindahan,
kebenaran dan kebaikan itu, menurut Hamka, jelas kembali semula kepada Tuhan.
Dari sudut pandang sastra, beberapa kritikus menganggap karya-karya Hamka tidak
istimewa. Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda A. Teeuw
menilai, Hamka tidak dapat dianggap sebagai pengarang besar karena karyanya
mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.
Sejarah
Dalam
Sejarah Umat Islam,
Hamka menulis tentang sejarah Islam dengan sistimatika periode berkuasa
kerajaan. Ia menekankan peranan raja dan kerajaanya yang pernah
menguasai Nusantara. Menurutnya, Islam di Indonesia berhubungan dengan Arab
lebih dulu dari pada India. Bukti sejarah yang paling nyata adalah ditemukannya
perkampungan Arab pada 674 di pantai Barat Sumatera dan Kerajaan
Kalingga pada masa Ratu Shima, yang keduanya bersumber dari berita
Tiongkok. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, Hamka telah menemukan
sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak pernah digunakan penulis pada
zamannya. Ia memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai sumber-sumber
yang dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya Tun
Sri Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya Nuruddin al-Raniri, Tuhfat Al-Nafis karya
Ali Haji, Sejarah Cirebon dan Babad
Giyanti.
Lewat
Perbendaharaan Lama,
Hamka meunjukkan penguasannya tentang warisan, atsar, jejak, dan petuah yang
diwariskan tokoh-tokoh Nusantara. Ia menguraikan tentang sejarah kebangkitan
Islam di Minangkabau secara khusus dalam Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah yang ditulisnya.
Hamka
memiliki metode tersendiri dalam memaparkan penelitiannya di bidang sejarah. Ia
mengedepankan sikap kritis dalam menelaah tulisan-tulisan sejarawan Belanda
tentang Indonesia. Menurutnya, para sejarawan Belanda telah memberikan andil
yang besar dalam banyak data, tetapi tetap perlu kritis menerimanya. Dengan
daya kritis dan analisisnya, Hamka berani merekonstruksi sejarah dengan
argumentasi dan dalil yang kuat. Ia tak sekadar mengulang-ulang catatan sejarah
yang terpapar dalam literatur-literatur baku ketika berbicara maupun menulis
tentang sejarah. Dalam memandang sosok Gajah Mada,
Hamka melihat Gajah Mada tak ubahnya seperti "penjajah" yang
"...menjarah, menjajah sampai ke mana-mana". Bersama daya bacanya
yang kuat, Hamka berjuang keras mengkritisi dan berusaha menyingkirkan
teks-teks beraroma dongeng yang kerap dijumpai dalam teks-teks klasik. Dalam
karyanya berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao tentang riwayat
hidup Tuanku
Rao dan sejarah Perang Padri, Hamka memberi komentar tentang penulisan
sejarah. Ia berpendapat perlu membedakan antara khayal dan fakta.
Tafsir Al-Azhar
Tafsir
al-Azhar dianggap sebagai karya monumental Hamka, sebagaimana ditulis oleh Abdurrahman
Wahid. Lewat Tafsir Al-Azhar, Hamka mendemonstrasikan keluasan
pengetahuannya di hampir semua disiplin yang tercakup oleh bidang ilmu-ilmu
agama Islam serta pengetahuan non-keagamaan yang kaya dengan informasi.[40]
Menurut peneliti Malaysia Norbani Ismail, Tafsir
Al-Azhar adalah tafsir pertama yang ditulis secara komprehensif dalam
bahasa Indonesia.
Usep
Taufik Hidayat dari Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut keunikan Tafsir Al-Azhar
adalah kemampuannya berelasi terhadap isu-isu kontemporer, terutama kepada
budaya masyarakat terutama budaya Melayu-Minangkabau. Hamka melakukan
pendekatan yang sesuai dengan kondisi kontemporer yang dihubungkan dengan
berbagai lapisan masyarakat modern. Hamka mengutip berpuluh-puluh kitab
karangan sarjana-sarjana Barat dan akomodatif terhadap pendekatan berbagai ilmu
yang ada korelasinya dengan penafsiran, terutama sains. Menurut Hamka, ilmu dan
akal diperuntukkan manusia untuk mengenal Tuhannya "Penemuan-penemuan
sains yang baru telah menolong kita untuk memahami kebenaran ayat Al-Quran dan
melihat keagungan-Nya."
Kehidupan pribadi dan publik
Keluarga
Pada
5 April 1929, Hamka menikahi Sitti Raham. Ia menjadi ayah dari dua belas anak,
dua di antara mereka meninggal saat masih balita.[43]
Sampai Mei 2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit.[44]
Ketika menikah dengan Sitti Raham, Hamka berusia 21 tahun, sementara Rahmah
masih berusia 15 tahun. Raham adalah anak dari salah seorang saudara laki-laki
ibunya. Setelah Rahmah meninggal pada 1 Januari 1971,[45]
Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon pada Agustus 1973.
Dalam
buku Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka, Rusydi
Hamka mengisahkan saat-saat keluarga mereka melewati masa-masa kemiskinan.
"Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti,
karena di rumah hanya ada sehelai kain," tulis Rusydi. Selain itu, sebagai
seorang mamak dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minang, Hamka pada saat
bersamaan memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya.
Anak pertama Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun.[25]
Anak ketiga Hamka, Rusydi dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin,
Padang Panjang pada 1935. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Hamka tidak
mewarisi bakat berbisnis. Di tengah kondisi kekurangan, Hamka memilih bekerja
di Medan untuk Pedoman Masyarakat pada 1936.
Citra
Hamka
dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa khutbah dan pidato
yang memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-kalimat yang santun
telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok dearah. Abdurrahman
Wahid menulis, penyampaian Hamka dalam masalah keagamaan "sangat
menawan" dan "menghanyutkan".[40]
Penulis Malaysia Muhammad Uthman El Muhammady
melihat Hamka sebagai pemikir Islam yang moderat dan toleran. Meskipun
berpegang teguh pada pendapat yang diyakininya, ia "selalu mengutarakan
argumennya dengan gaya yang elegan". Ia mengutamakan silaturahmi ketimbang
meributkan perbedaan tak berprinsip. Usep Taufik Hidayat dari Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengutip bagaimana penerimaan
Hamka terhadap perbedaan paham dalam perkara cabang agama. Ketika Abdullah
Syafii hendak menyampaikan khutbah di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka
mempersilakan azan di masjid itu dilakukan dua kali sebagaimana tradisi di
kalangan Nahdatul Ulama. Pada Ramadhan pertama setelah Masjid
Al-Azhar dibuka, Hamka menawarkan kepada jemaah untuk shalat Tarawih dan Witir
11 atau 23 rakaat.
Menurut
putra ke-5 Hamka, Irfan, Hamka berusaha menghindari konflik dengan
siapapun.[46]
Namun, dalam masalah aqidah, "Ayah memang tidak pernah bisa berkompromi.
Tapi dalam masalah-masalah lain, Ayah sangat toleran."[47]
Selain memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI dibandingkan mencabut fatwa
keharaman merayakan Natal bagi umat Islam sebagaimana tuntutan pemerintah,
Hamka menolak menghadiri pertemuan ramah-tamah dengan Paus
Paulus VI ketika berkunjung ke Indonesia pada 3–4 Desember 1970.
"Bagaimana saya bisa bersilaturahmi..., sedangkan umat Islam dengan
berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh
perintahnya?"[46]
Menggunakan
sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya, Irfan
Hamka dalam buku Ayah... mengungkapkan bagaimana Hamka
"memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya." Karena pandangan
politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya. Dalam
sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang Pancasila
sebagai dasar yang sesat sehingga membuat Muhammad
Yamin marah dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin
meminta Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya
sampai ke dekat liang lahatnya".[48]
Di bawah pemerintahan
Soekarno, Hamka sempat mendekam di penjara atas tuduhan merencakan makar
yang tidak pernah terbukti. Namun, Hamka memenuhi permintaan Soekarno yang
lima hari sebelum meninggal meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam
shalatnya. Irfan mengutip penyataan Hamka. "Saya tidak pernah dendam
kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua
tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang
tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab
tafsir Al-Quran 30 juz."[49]
Sebagai
seorang yang anti-komunis, Irfan dalam Ayah... menyebut bagaimana
pribadi dan karya Hamka diserang oleh surat kabar Bintang Timoer dalam
rubrik "Lentera" yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer. Salah satu kritik
tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
disebut sebagai jiplakan dari novel Magdalena karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi, seorang
penulis Mesir. Namun, ketika Pramoedya mendapati purtinya, Astuti hendak
menikahi seorang peranakan etnis Tionghoa berbeda agama, Pram meminta Astuti
membawa Daniel Setiawan untuk belajar Islam kepada Hamka. Dalam pertemuan
dengan Astuti, Hamka sama sekali tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan
tahun sebelumnya. Melalui bimbingan Hamka, Daniel Setiawan mengucapkan dua
kalimat syahat. Seorang dokter yang dekat dengan Pram, Hoedaifah menanyakan
mengapa Pram justru mengutus calon menantu menemui figur yang selama ini ia
serang melalui tulisan-tulisannya. "Saya lebih mantap mengirimkan calon
menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda
paham politik."[50]
Taufiq
Ismail dalam pengantar di buku Ayah... menilai, secara tidak
langsung tindakan Pram yang meminta calon menantunya belajar kepada Hamka
sebagai bentuk ungkapan maaf.[51]
Sumber
Tulisan : https://id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar